Aplikasi vaksin berkorelasi positif terhadap perbaikan lingkungan di satu sisi, peningkatan keuntungan pembudidaya di sisi lain sebagai efek turunnya kejadian penyakit
Di Waduk Cirata, Jatiluhur, dan Saguling, penyakit viral Koi Herpes yang disebabkan oleh Koi Herpes Virus (KHV) adalah momok bagi budidaya ikan mas. Ahmad Sugiono yang pembudidaya ikan mas di Waduk Cirata mengeluhkan, kejadian penyakit ini sekarang seakan tak mengenal musim, dan hampir sepanjang 2010 kasusnya selalu ada. ”Tak hanya saat musim hujan, musim kemarau pun terjadi,” tuturnya lirih. Tetapi tidak hanya KHV. Beberapa penyakit lainnya juga kerap dikeluhkan para pembudidaya ikan air tawar menyatroni tambak, kolam ataupun KJA (keramba jaring apung). Antara lain disebut Taukhid, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Budidaya Air Tawar – Bogor, yang sering mengancam produksi budidaya air tawar adalah infeksi Aeromonas hydrophila, Streptococcus agalactiae dan Mycobacterium.
Setali tiga uang, keluhan penyakit infektif dalam kegiatan budidaya ikan air laut juga banyak terdengar. Wawan Siswanto – Product Manager Aquaculture PT Sanbe Farma menuturkan, penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) dan penyakit yang disebabkan oleh Vibrio sp. serta Streptococcus iniae cukup banyak terjadi pada ikan kerapu dan kakap. ”Selain itu, pada budidaya ikan kerapu di daerah Lampung dan Pulau Seribu dilaporkan juga kasus infeksi Iridovirus,” tambahnya.Maskur – Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak menampik adanya keluhan-keluhan penyakit tersebut. Ia mengakui, penyakit merupakan tantangan yang serius pada perikanan budidaya dari tahun ke tahun. Tingkat kejadian penyakit belakangan semakin tinggi akibat terjadi perubahan iklim.
Mereduksi Penyakit, Mendongkrak Produksi
Kebutuhan vaksin sebagai salah satu senjata mengendalikan sebaran virus menjadi keharusan yang mendesak. Ini ditekankan peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Hambali Supriyadi. Pasalnya, kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi penyakit tersebut cukup tinggi. Dan dipastikan, dampak serangan agen penyakit pada komoditas utama perikanan budidaya akan berakibat melesetnya target produksi perikanan budidaya 353 % di 2015. ”Karena itu kebutuhan vaksin sebagai tindakan pencegahan sangat mendesak,” tandasnya.
Seolah menambahkan, Maskur berpendapat, dengan ditertibkannya penggunaan antibiotik sebagai pengobatan melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 26 tahun 2004, maka yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit adalah tindakan pencegahan. ”Salah satunya adalah vaksinasi,” tunjuk dia.
Dengan vaksinasi, kata Slamet Subiyakto – Direktur Perbenihan Perikanan Budidaya KKP, produksi perikanan budidaya akan meningkat. Begitu pula halnya dengan pendapatan pembudidaya. Bahkan Agus Widodo – Marketing Manager PT Vaksindo Perkasa yakin, aplikasi vaksin sebagai pengendali kasus penyakit akan mampu mendongkrak produksi nasional 30 %. ”Peningkatan sebesar itu secara logis dapat dicapai karena vaksinasi dapat meningkatkan daya hidup ikan,” ujarnya argumentatif.
Sebuah seminar digelar Novus International bulan lalu di tengah gelaran VIV Asia 2011 and Aquatic Asia 2011 di Bangkok, Thailand (9/3), diantaranya mengulas perlu tidaknya vaksin pada ikan dan apakah vaksin berguna dalam budidaya perikanan. Dalam materi presentasi Kjersti Gravningens, Direktur Pharmaq Asia –sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan ikan— dikatakan, vaksin pada ikan menjadi penting di era saat ini karena pencegahan adalah pilihan cara pengobatan yang lebih baik.
Permintaannya meningkat sejalan dengan meningkatnya permintaan dunia akan pasokan ikan, dikuatkan pula dengan maraknya pelarangan penggunaan antibiotik dalam kegiatan budidaya perikanan. “Menguatnya kesadaran akan keamanan makanan dan isu ramah lingkungan juga menjadi alasan vaksin mendapat tempat tersendiri dalam akuakultur modern,” tutur Gravningens yang ahli mikrobiologi ini.
Pembudidaya belum Percaya
Sebagian pihak percaya, vaksin adalah jawaban bagi masalah penyakit yang dihadapi pembudidaya ikan saat ini. Tetapi persoalan utamanya, justru pembudidaya sebagai target pengguna produk umumnya belum familiar dengan teknologi ini. Menurut penuturan Wawan, sampai hari ini vaksin masih dianggap baru bagi pembudidaya, utamanya pembudidaya ikan air tawar. Fakta masih rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan pembudidaya terhadap vaksinasi dan diagnosa penyakit menjadi tantangan tersendiri. ”Pembudidaya berpandangan, aplikasi vaksinasi seperti injeksi dan perendaman merupakan hal yang menyulitkan,” ia mencontohkan.
Sementara untuk pembudidaya ikan air laut, Wawan membandingkan, tingkat kesadarannya lebih baik. “Sebabnya, kebanyakan dari pembudidaya ikan air laut memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi. Sehingga mereka lebih terbuka dan mudah diedukasi,” tuturnya. Hambali juga membenarkan, pembudidaya dengan skala usaha menengah ke atas cenderung lebih mudah untuk diedukasi, bahkan mereka mencari sendiri apa solusi dari masalah penyakit yang dihadapi. Tapi untuk pembudidaya skala kecil, sosialisasi dan edukasi perlu dilakukan secara perlahan dan berkelanjutan.
Masih soal edukasi, Slamet mengatakan, pelatihan tentang bagaimana menyimpan vaksin, penanganan, dan aplikasinya sangat penting untuk diajarkan ke para pembudidaya. ”Pembudidaya juga harus tahu bahwa hanya benih atau ikan sehat saja yang boleh divaksin,” tekannya.
Cara pandang umumnya pembudidaya ikan air tawar yang belum percaya pada aplikasi vaksin, dibenarkan Ahmad. Ia mengatakan, masih banyak pembudidaya yang menganggap vaksinasi justru dapat menghambat pertumbuhan ikan, bahkan menyebabkan kematian. ”Banyak KJA yang
Kendala Harga
Tantangan berikutnya adalah harga vaksin. Ahmad mengatakan, harga vaksin ikan saat ini tidak ekonomis. ”Contohnya vaksin KHV untuk ikan mas. Harga benih yang telah divaksin bisa menjadi 2 kali lipat. Ini sangat memberatkan kami,” keluhnya. Karena itu ia berharap agar pemerintah dapat memberikan subsidi sehingga harga vaksin untuk ikan air tawar lebih terjangkau.
Agus tak menampik fakta, harga vaksin KHV yang dijualnya tidak murah. Ia menyebut Rp 7,5 juta untuk kemasan 100 ml, yang dapat digunakan memvaksin 30.000 ekor benih. ”Selama ini pembudidaya hanya melihat harga benih yang jadi 2 kali lipat bila divaksin. Tapi bila dihitung secara keseluruhan saat panen, biaya vaksin tidak akan membebani ongkos produksi. Bahkan untung, karena tingkat hidup benih yang telah divaksinasi bisa mencapai angka lebih dari 90 %,” hitungnya.
Berbeda dengan budidaya air tawar, Wayan Suja – Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengatakan, harga vaksin untuk budidaya ikan air laut sangat terjangkau. Contohnya vaksin vibrio polivalen, tiap liternya dibandrol Rp 250.000 untuk memvaksin 10.000 ekor benih. Angka yang tidak memberatkan bagi Wayan. Tetapi dia menyayangkan, vaksin yang terjangkau itu tingkat protektivitasnya tidak 100 %. ”Yang sudah melakukan vaksinasi pun masih ada yang kena vibrio,” tukasnya. (http://www.trobos.com)
Setali tiga uang, keluhan penyakit infektif dalam kegiatan budidaya ikan air laut juga banyak terdengar. Wawan Siswanto – Product Manager Aquaculture PT Sanbe Farma menuturkan, penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) dan penyakit yang disebabkan oleh Vibrio sp. serta Streptococcus iniae cukup banyak terjadi pada ikan kerapu dan kakap. ”Selain itu, pada budidaya ikan kerapu di daerah Lampung dan Pulau Seribu dilaporkan juga kasus infeksi Iridovirus,” tambahnya.Maskur – Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak menampik adanya keluhan-keluhan penyakit tersebut. Ia mengakui, penyakit merupakan tantangan yang serius pada perikanan budidaya dari tahun ke tahun. Tingkat kejadian penyakit belakangan semakin tinggi akibat terjadi perubahan iklim.
Mereduksi Penyakit, Mendongkrak Produksi
Kebutuhan vaksin sebagai salah satu senjata mengendalikan sebaran virus menjadi keharusan yang mendesak. Ini ditekankan peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Hambali Supriyadi. Pasalnya, kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi penyakit tersebut cukup tinggi. Dan dipastikan, dampak serangan agen penyakit pada komoditas utama perikanan budidaya akan berakibat melesetnya target produksi perikanan budidaya 353 % di 2015. ”Karena itu kebutuhan vaksin sebagai tindakan pencegahan sangat mendesak,” tandasnya.
Seolah menambahkan, Maskur berpendapat, dengan ditertibkannya penggunaan antibiotik sebagai pengobatan melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 26 tahun 2004, maka yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit adalah tindakan pencegahan. ”Salah satunya adalah vaksinasi,” tunjuk dia.
Dengan vaksinasi, kata Slamet Subiyakto – Direktur Perbenihan Perikanan Budidaya KKP, produksi perikanan budidaya akan meningkat. Begitu pula halnya dengan pendapatan pembudidaya. Bahkan Agus Widodo – Marketing Manager PT Vaksindo Perkasa yakin, aplikasi vaksin sebagai pengendali kasus penyakit akan mampu mendongkrak produksi nasional 30 %. ”Peningkatan sebesar itu secara logis dapat dicapai karena vaksinasi dapat meningkatkan daya hidup ikan,” ujarnya argumentatif.
Sebuah seminar digelar Novus International bulan lalu di tengah gelaran VIV Asia 2011 and Aquatic Asia 2011 di Bangkok, Thailand (9/3), diantaranya mengulas perlu tidaknya vaksin pada ikan dan apakah vaksin berguna dalam budidaya perikanan. Dalam materi presentasi Kjersti Gravningens, Direktur Pharmaq Asia –sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan ikan— dikatakan, vaksin pada ikan menjadi penting di era saat ini karena pencegahan adalah pilihan cara pengobatan yang lebih baik.
Permintaannya meningkat sejalan dengan meningkatnya permintaan dunia akan pasokan ikan, dikuatkan pula dengan maraknya pelarangan penggunaan antibiotik dalam kegiatan budidaya perikanan. “Menguatnya kesadaran akan keamanan makanan dan isu ramah lingkungan juga menjadi alasan vaksin mendapat tempat tersendiri dalam akuakultur modern,” tutur Gravningens yang ahli mikrobiologi ini.
Pembudidaya belum Percaya
Sebagian pihak percaya, vaksin adalah jawaban bagi masalah penyakit yang dihadapi pembudidaya ikan saat ini. Tetapi persoalan utamanya, justru pembudidaya sebagai target pengguna produk umumnya belum familiar dengan teknologi ini. Menurut penuturan Wawan, sampai hari ini vaksin masih dianggap baru bagi pembudidaya, utamanya pembudidaya ikan air tawar. Fakta masih rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan pembudidaya terhadap vaksinasi dan diagnosa penyakit menjadi tantangan tersendiri. ”Pembudidaya berpandangan, aplikasi vaksinasi seperti injeksi dan perendaman merupakan hal yang menyulitkan,” ia mencontohkan.
Sementara untuk pembudidaya ikan air laut, Wawan membandingkan, tingkat kesadarannya lebih baik. “Sebabnya, kebanyakan dari pembudidaya ikan air laut memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi. Sehingga mereka lebih terbuka dan mudah diedukasi,” tuturnya. Hambali juga membenarkan, pembudidaya dengan skala usaha menengah ke atas cenderung lebih mudah untuk diedukasi, bahkan mereka mencari sendiri apa solusi dari masalah penyakit yang dihadapi. Tapi untuk pembudidaya skala kecil, sosialisasi dan edukasi perlu dilakukan secara perlahan dan berkelanjutan.
Masih soal edukasi, Slamet mengatakan, pelatihan tentang bagaimana menyimpan vaksin, penanganan, dan aplikasinya sangat penting untuk diajarkan ke para pembudidaya. ”Pembudidaya juga harus tahu bahwa hanya benih atau ikan sehat saja yang boleh divaksin,” tekannya.
Cara pandang umumnya pembudidaya ikan air tawar yang belum percaya pada aplikasi vaksin, dibenarkan Ahmad. Ia mengatakan, masih banyak pembudidaya yang menganggap vaksinasi justru dapat menghambat pertumbuhan ikan, bahkan menyebabkan kematian. ”Banyak KJA yang
Kendala Harga
Tantangan berikutnya adalah harga vaksin. Ahmad mengatakan, harga vaksin ikan saat ini tidak ekonomis. ”Contohnya vaksin KHV untuk ikan mas. Harga benih yang telah divaksin bisa menjadi 2 kali lipat. Ini sangat memberatkan kami,” keluhnya. Karena itu ia berharap agar pemerintah dapat memberikan subsidi sehingga harga vaksin untuk ikan air tawar lebih terjangkau.
Agus tak menampik fakta, harga vaksin KHV yang dijualnya tidak murah. Ia menyebut Rp 7,5 juta untuk kemasan 100 ml, yang dapat digunakan memvaksin 30.000 ekor benih. ”Selama ini pembudidaya hanya melihat harga benih yang jadi 2 kali lipat bila divaksin. Tapi bila dihitung secara keseluruhan saat panen, biaya vaksin tidak akan membebani ongkos produksi. Bahkan untung, karena tingkat hidup benih yang telah divaksinasi bisa mencapai angka lebih dari 90 %,” hitungnya.
Berbeda dengan budidaya air tawar, Wayan Suja – Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengatakan, harga vaksin untuk budidaya ikan air laut sangat terjangkau. Contohnya vaksin vibrio polivalen, tiap liternya dibandrol Rp 250.000 untuk memvaksin 10.000 ekor benih. Angka yang tidak memberatkan bagi Wayan. Tetapi dia menyayangkan, vaksin yang terjangkau itu tingkat protektivitasnya tidak 100 %. ”Yang sudah melakukan vaksinasi pun masih ada yang kena vibrio,” tukasnya. (http://www.trobos.com)
Label:
PERIKANAN DARAT
0 komentar:
Posting Komentar