Dukung Minapolitan, KKP Luluskan Tenaga Kerja Siap Pakai

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaannya, pada tahun ajaran 2010/2011 berhasil meluluskan tenaga kerja siap pakai sebanyak 1.400 orang,  sebanyak 331 orang diantaranya adalah lulusan Sekolah Tinggi Perikanan (STP). Disampaikan  Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad saat mewisuda lulusan STP hari ini (29/7), bertempat di auditorium kampus STP, Jakarta Selatan.


Lebih lanjut Fadel menegaskan agar wisudawan STP meneruskan kiprah dan sukses pendahulu lulusan sebelumnya. Dengan bekal keterampilan dan penumbuhan jiwa wirausaha yang diberikan, lulusan ini diyakini dapat berhasil menjadi pengusaha dan pembudidaya, yang dari usahanya sendiri mereka mampu menggerakkan perekonomian di bidang kelautan dan perikanan.


Para lulusan STP selanjutnya diserahkan kembali kepada Bupati asal daerahnya masing-masing yang sebelumnya dititipkan untuk dididik di lembaga pendidikan ini. Pola pembinaan dan pendidikan yang dilakukan pendidikan ini telah berhasil mencetak lulusan dengan keterampilan dan disiplin tinggi sehingga lulusan dapat kontribusi dalam membangun kelautan dan perikanan di daerah asalnya, terutama dalam mensukseskan program pengembangan kawasan minapolitan untuk merealisasikan  visi  Indonesia sebagai negara penghasil produksi perikanan terbesar pada tahun 2015.

Disamping dikembalikan ke daerah asalnya, sebanyak 130 orang lulusan telah direkrut langsung untuk bekerja pada berbagai industri perikanan dan memulai debutnya sebagai wirausaha. Jumlah tenaga kerja siap pakai tersebut merupakan lulusan dari enam Program studi, yaitu Teknologi Penangkapan Ikan sebanyak 45 orang, Permesinan Perikanan 43 orang, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan 54 orang, Teknologi Akuakultur 55 orang, Teknologi Sumber Daya Perairan 45 orang, serta Penyuluhan Perikanan 89.

Sebagai lembaga pendidikan perikanan yang telah berdiri sejak tahun 1962, STP  hingga tahun 2011 telah meluluskan 8.080 orang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan sebaran sebanyak 30 % adalah PNS, wiraswasta sebanyak 27 %, bekerja di swasta sebanyak 35 %, melanjutkan pendidikan 5 %, dan lainnya 3 %, merupakan aset yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan kelautan dan perikanan bangsa. Para lulusan ini telah memberikan kontribusinya bagi bangsa dan negara.

Lembaga pendidikan tinggi KKP telah menyepakati diperlukannya  integrasi bersama dengan perguruan tinggi negeri lain, seperti IPB, Universitas Hasanudin, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Riau, Universitas Brawijaya, Universitas Diponegoro, dan Universitas lainnya. Penyusunan kurikulum nasional, pembagian wilayah sesuai dengan komoditi serta beasiswa bagi anak-anak nelayan akan segera diatur sebagian bagian dari upaya mengintegrasikan sistem pendidikan perikanan nasional. Tahun 2011, KKP telah memberikan 150 bantuan beasiswa anak nelayan di STP dan pada tahun 2012 dialokasikan beasiswa bagi 4000 anak nelayan pada lembaga pendidikan di KKP dan lembaga pendidikan tinggi serta pendidikan menengah perikanan lainnya.

Peningkatan daya saing dan mutu pendidikan harus terus dilakukan agar para lulusan kedepan menjadi professional, tangguh dan berdaya saing internasional. Untuk itu  STP telah bekerjasama dengan pihak lain, diantaranya dengan Australia Maritime College (AMC) Australia, dan Pukyong National University  di Korea Selatan, dan juga melakukan inisiasi mengembangkan keilmuan terapan perikanan melalui kampus teaching factory yang direncanakan akan dibangun mulai tahun 2012 di Karawang. Program teaching factory sendiri saat ini merupakan terobosan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia khususnya dibidang kelautan dan perikanan. Pembelajaran berbasis dunia kerja adalah salah satu solusinya dalam menciptakan lulusan yang kompeten dan siap kerja sesuai tuntutan dunia kerja. Paradigma tentang pendidikan di Indonesia yang masih terpuruk juga menjadi tantangan yang besar untuk mencapai hal tersebut, dimana selama ini pendidikan di Indonesia hanya menciptakan pencari kerja dan pengguna (user), bukan pencipta lapangan kerja dan pembuat (produsen). Dalam rangka berkontribusi untuk meningkatkan bidang kelautan, KKP membangun Kampus Konservasi Sekolah Tinggi Perikanan yang berpusat di daerah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara  yang sudah mulai dibangun pada tahun 2011 dan ditargetkan tahun 2012 dapat dioperasionalkan. Pengembangan tersebut akan menginisiasi  terbentuknya Institut Kelautan dan Perikanan Nasional (National Marine and Fisheries Institute) yang kampus utamanya akan berada di daerah Karawang, Jawa Barat.

Dalam rangkaian acara wisuda STP kali ini juga diselenggarakan STP Expo yang menampilkan gelar teknologi terapan perikanan, pameran dan bazaar di lapangan upacara dan lapangan basket STP. Para pengunjung expo dihibur oleh persembahan seni kolosal hasil kreasi taruna junior untuk melepaskan taruna senior berupa kolaborasi drum band, tarian, kendang rampak, musik dan sebagainya. Sumber : siaran pers www.kkp.go.id


Cumi Masak Balado



Bahan - bahan ;
- 750gr cumi bersih
- 1 buah jeruk nipis
-  50gr daun kemangi
- 2lbr daun salam
- 100cc air/kaldu
- garam secukupnya

Bumbu yg dihaluskan/diblender ;
- 8 biji bawang merah
- 3 biji bawang putih
- 7 cabe merah
- 1 sdt terasi
- 10 biji cabe rawit/hanya utk yg suka pedas
- 5 buah kemiri
- 1/2 sdt kencur bubuk
- 1 sdt kunyit bubuk
- 2 sdt lengkuas
- 1 sdm irisan halus serai
- 1/2 sdt jahe
- garam secukupnya

Cara memasak Cumi Balado ;
- Cumi yang telah dibersihkan dilumuri/direndam dgn air jeruk dan garam selama 15mnt
- Bumbu yang sudah dihaluskan ditumis sampai mengeluarkan bau harum
- Masukkan cumi dan diaduk terus sampai airnya agak mengental
- Masukkan daun kemangi dan diaduk sebentar
- Kemudian diangkat

Resep ini untuk menu makan 4org.


Bahan Membuat Cumi Cah Kangkung:
  • 500 gr cumi segar
  • 3 siung bawang, haluskan
  • 2 ikat kangkung, siangi
  • 2 sdm margarin
  • 1 sdm kecap ikan
  • 1 sdt minyak wijen
  • 100 ml air 1/2 sdt garam
Cara Membuat Cumi Cah Kangkung:
  1. Bersihkan cumi, potong-potong, gurat-gurat bagian dalamnya. Panaskan margarin, tumis bawang putih sampai harum.
  2. Masukkan cumi, kecap ikan, minyak wijen, air, dan garam, aduk rata.
  3. Masukkan kangkung, masak sebentar.
  4. Angkat dan sajikan selagi hangat.
Untuk 4 porsi

Kerang cah Jamur Putih

Bahan :
- 500 gr kerang, rebus ambil dagingnya
- 150 gr jamur putih
- 8 siung bawng putih, cincang
- 2 cm jahe, potong korek api
- 1 sdt penyedap rasa, jika suka
- ½ sdt garam
- 2 sdt saus hoisin
- 50 cc air
- 1 buah paprika hijau, potong dadu
- 1 buuah bawang bombay, potong dadu
Cara membuat :
1. tumis bawang putih, jahe hingga harum
2. masuukan kerang, bawanbg bombay, jamur putih, penyedap rasa, saus hoisin, paprika hijau, air, aduk rata
3. angkat, hidangkan
(untuk 4 porsi)

Meracik Sendiri Pakan Kerapu

Budidaya ikan kerapu (anggota Serranidae, subfamili Epinephelinae) telah berkembang secara luas di Asia. Antara lain di China, Hongkong Taiwan, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Tak heran, karena jenis ikan ini memiliki nilai jual yang tinggi di pasar lokal maupun ekspor.
Harga jual tinggi inilah yang menjadi daya tarik usaha budidaya kerapu, meskipun perputaran uangnya cukup lama karena untuk mencapai bobot 500 – 600 gram (ukuran konsumsi) dari ukuran benih 7 – 10 cm memakan waktu 10 sampai 18 bulan. Untuk bisa sukses dalam usaha ini, salah satu kuncinya adalah menguasai manajemen pakan. Pasalnya, kerapu merupakan ikan karnivora (pemakan daging) sehingga memerlukan asupan protein yang tinggi dalam pakannya.
Kondisi di tanah air, selama ini pembudidaya cukup kewalahan memenuhi kebutuhan pakan kerapu sebagaimana mestinya. Mereka kesulitan dalam hal penyediaan pakan ikan rucah secara kontinyu sepanjang tahun. Seperti dituturkan Bangun Sitepu pembudidaya kerapu asal Lampung, “Sulit untuk menggunakan ikan rucah saja, terlebih jika musim barat (masa-masa gelombang tinggi di laut) tidak ada persediaan stok ikan di nelayan.”
Di sisi lain, formula pakan pabrikan juga belum mampu menyamai keunggulan pakan ikan rucah dari sisi pertumbuhan. Pembudidaya akhirnya mengambil jalan tengah, mengkombinasikan pemberian pakan pelet dan ikan rucah. “Saya pakai 75 % ikan rucah dan 25 % pelet pada pembesaran kerapu untuk tambahan saja dan pengganti bila ikan rucah sulit didapat,” ujar  Bangun yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Komunikasi Kerapu Lampung.

Pelet vs Rucah
Penggunaan pakan full (keseluruhan) pelet maupun keseluruhan rucah pada budidaya pembesaran kerapu, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Menurut Bangun, penggunaan pakan keseluruhan pelet pada budidaya kerapu bisa mengakibatkan pertumbuhan kerapu menjadi sangat lamban, sehingga waktu panen bisa lebih dari 1,5 tahun. Atau sekitar 3 bulan lebih lambat dibandingkan penggunaan pakan dengan ikan rucah saja.

Pakan Alternatif
Karena alasan tersebut maka pembudidaya umumnya memutuskan menggunakan pakan kombinasi untuk pembesaran kerapu. Dan untuk pakan kombinasi ini, rekomendasi peneliti kerapu asal Australia, Mike Rimmer bisa dijadikan acuan.  Dia bersama tim di bawah naungan ACIAR (Australian Centre International Agricultural Research) telah mencoba mengujicobakan pakan alternatif untuk kerapu tikus.
Pembuatan pakan sendiri oleh pembudidaya berdasarkan formulasi yang telah direkomendasikan dari hasil penelitian diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada ikan rucah. Tentunya, ramuan pakan yang dibuat harus mampu memenuhi kebutuhan protein dan nutrisi yang diperlukan kerapu sehinga tidak mengurangi kecepatan pertumbuhannya.http://www.trobos.com

Birokrasi Hambat Bisnis Kerapu


Tingginya biaya perizinan pelayaran untuk kapal angkut ikan, berdampak pada belum optimalnya harga jual ikan kerapu di tingkat pembudidaya. Fakta ini diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Budidaya Laut Indonesia (Abilindo), Wajan Sudja. Menurutnya, saat ini pasar ikan kerapu hasil budidaya di Indonesia saat ini dikuasai hanya oleh 3 importir dengan 16 kapal pengangkut ikan hidup.
Lebih lanjut Wajan menjelaskan, kepengurusan perizinan kapal pengangkut milik ketiga importir asal Hongkong tersebut dilakukan oleh 3 agen pelayaran di Indonesia. Dari pengakuan pemilik kapal, ungkap Wajan, dalam proses pengurusan SIKPI-NA (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan – Nelayan Asing) izin setiap kapal agen pelayaran membebani biaya sekitar US$ 40 ribu atau sekitar Rp 360 juta (kurs US$ 1=Rp 9 ribu). Belum lagi proses perizinannya memakan waktu cukup lama.

Padahal, kata Wajan, berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 7/2007 terkait hal itu, disebutkan bahwa tidak ada pungutan biaya pengurusan izin SIKPI-NA. Apalagi dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) tidak melakukan pungutan apapun. “Kondisi inilah yang membuat biaya tinggi, imbasnya harga kerapu yang dibeli para importir jadi lebih rendah,” kata Wajan.

Masih kata Wajan, kondisi ini juga membuat persaingan perdagangan ikan kerapu hidup menjadi terbatas atau oligopoli (hanya segelintir pihak yang terlibat). Abilindo sudah melayangkan surat permohonan kepada KKP untuk melakukan revisi terhadap Permen tersebut. Intinya untuk memberikan kemudahan bagi kapal-kapal pembeli atau pengangkut ikan hidup dari luar negeri mencari kerapu di Indonesia. “Dengan demikian persaingan lebih ramai dan dan usaha kerapu bisa lebih berkembang,” ujar Wajan. Sayangnya usulan Abilindo tersebut sampai saat ini belum ada tanggapan dari KKP.

Wajan menambahkan, seluruh kegiatan ekspor ikan kerapu dari wilayah Indonesia selalu dilaporkan jumlahnya oleh eksportir (pengusaha/pembudiaya) kepada dinas perikanan, karantina, dan bea cukai setempat. Tanpa adanya dokumen Karantina dan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang), maka kapal pengangkut ikan kerapu hidup dapat ditindak oleh petugas patroli keamanan laut.

Pembenahan Aturan
Seolah menanggapi permasalahan ini, Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut P Hutagalung, mengakui belum ada peraturan yang cukup spesifik mengatur soal tata niaga ikan hidup termasuk kerapu. Menurutnya, perdagangan ikan kerapu hidup saat ini masih didominasi oleh China meski sebelumnya dikuasai Hongkong.

Saut menjelaskan, kondisi ini terjadi setelah Asean China Free Trade Agreement (ACFTA)yang berlaku pada Januari 2010 lalu. Sebelum perjanjian tersebut ikan kerapu yang diekspor ke China dikenakan tarif pajak 10 %, sehingga pengiriman lebih banyak lewat Hongkong. “Terlepas dari itu, dengan permintaan pasar semakin meningkat dapat berdampak positif maupun negatif apabila aturannya tidak segera dibenahi,” kata Saut.
Dampak negatifnya, Saut mengkhawatirkan terhadap importir luar yang memperbanyak agen-agennya untuk mencari ikan kerapu dan membelinya dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan pasokan dari Australia, Filipina, dan negara lainnya menurun karena faktor lingkungan. Sementara di Indonesia perkembangan usaha budidaya kerapu tidak secepat perkembangan permintaan pasarnya.http://www.trobos.com

Increasing the price of tuna loin and Alor Wakatobi fishermen through training

WWF Indonesia is implementing a training post-catch handling of tuna fish as part of themarine program. This training is very important for fishermen to be able to obtain qualityloin (meat tuna) is good and getting a high price. In addition, this training is one strategyfor fishermen are not too chase that catches a lot to get high prices, but more attention to quality.
With a quality catch, although the catch just one fish every day, pressure on resourcesthat are too high due to the arrest can be reduced. That way, the welfare of fishermennoticed while running conservation programs.
Earlier this year, tuna handling training has been conducted twice, each in Wakatobi,Southeast Sulawesi and Alor, East Nusa Tenggara. Training in the Wakatobi conductedin four villages for four days, one day at each location / village. The first trainingconducted in South Mola village on January 21, 2011, a second workshop conducted inthe village of Mola Marine on January 22, 2011, third at Pia Wapia Village on January 23, 2011 and last in the village of Wae Lumu on January 24, 2011. Then, training in Alorheld for 3 days, ie 16 to 18 February 2011 in Village Adang, Alor District Northwest.
Most of the trainees are fishermen, and other participants are gatherers. All participants were fishermen and gatherers has been accompanied in community empowermentprograms contained in the WWF as well as community groups. At Wakatobi, trainingfollowed by 93 people, while in Alor attended by 23 people. 
The training that took place this interactive enough material consisted of presentation stand discussions, as well as direct practice using samples of fish and also interspersedwith discussion. The material starts with 'Sustainable Tuna Fishery', followed bymaterials on the stages of the handling of tuna fish on the boat (onboard handling) thatwill be sold as logs or other forms of loin. No lag, also delivered insights into thehandling of the mini-plan collection, which is a process in the form of tuna loin andpacking. 
In addition to the above matters, the training was also conducted based on the needs offishermen to improve the quality of tuna loin meat according to buyer demand,especially in the stage of the handling of tuna, from then lifted onto the boat after afishing line caught up to the collector, either in the form of spindles or already processedinto loin. 
This stage is a critical stage in the process of handling the tuna because it is still above the boat with the natural conditions that can not be controlled. Handling that one canmake tuna loin damaged and has no price. Conversely, proper handling will 
make thefishermen get the best quality tuna loin with the highest price.
Target training is that participants can master the handling of a loin of tuna are skilledwith the best quality or Grade A. The first principle which must be done is to maintaincleanliness and cold chain is not broken. 
The next principle is to treat tuna loin and carefully, not picked in a bent positionbecause it can damage the structure of the broken meat or meat (or lift it like holding a baby).Fishermen are trained to clean clothes and with regard to sterilization of equipment andplace. Fishermen are also trained to make ice jelly because it is more efficient andcooler temperatures awake longer, especially for shipment by cargo aircraft.Cleanliness and the cold chain are two things that are often overlooked so that the quality tuna and the price drop just entering Grade D and Reject, which is only aboutRp7.000 per kg. But if cleanliness and cold chain can be maintained, fishermen can selltuna loin to a collector with Rp42.000 price per kg or enter Grade A. 
Another thing that is not less important is making sure the size of tuna caught more than20 kg. This is caused by the quality of Grade A loin also consider the size of the loin,which is 2.5 kg to the top of each loinThe size of tuna above 20 kg are allowed to get arrested for loin Grade A, especially the Yellow Fin Tuna (Yellow Fin / Madidahang), Thunnus albacores who was arrested atWakatobi and Alor, also highly relevant to biological and ecological aspects of tuna fish. 
Biologically, tuna above 20 kg have decent gear and have reached adult age.Meanwhile, if viewed from the aspect of ecology, has conducted spawning adult fish andcan maintain the sustainability of fish stocks in the wild yellow fin tuna. Tuna fishingunder the weight of 20 kg, will only hurt the fishermen because they can not at reasonable prices while providing ecologically adverse effects. 
Seeing the many benefits that can be obtained, both ecologically and economically,improving the skills training of fishermen will continue to do in order to support thewelfare of fishermen and provide information on important aspects of environmentalconservation. All this is aimed for the marine ecosystem can still function in a sustainable ecology and economy. 


Mengelola Pascapanen Hasil Perikanan

Oleh : Prof. DR. Rokhmin Dahuri
Sejatinya perikanan merupakan suatu sistem bisnis yang terdiri dari tiga subsistem (komponen) Utama, yakni produksi, penanganan dan pengolahan (handling and processing), serta pemasaran. Pada subsistem produksi, kita bisa menghasilkan produk primer perikanan (ikan, udang, kerang-kerangan, echinodermata, dan biota perairan lainnya) melalui dua cara, yaitu penangkapan (perikanan tangkap, capture fisheries) dan pembudidayaan (perikanan budidaya, aquaculture).


Oleh sebab itu, kalau kita ingin sukses dalam membangun perikanan nasional, maka kita harus mengelola pembangunan perikanan atas dasar pendekatan bisnis perikanan terpadu. Sosok perikanan Indonesia yang berhasil adalah yang mampu memberikan keuntungan (kesejahteraan) bagi seluruh pelaku usaha (terutama nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pedagang), memenuhi kebutuhan ikan dan produk perikanan nasional, menghasilkan devisa signifikan, serta menghadirkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7% per tahun) secara berkelanjutan (on a sustainable basis).


Dalam praktiknya, pendekatan bisnis perikanan terpadu berarti memastikan, bahwa banyaknya (volume) setiap jenis ikan dan produk perikanan yang diproduksi (melalui perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) harus sesuai (matching) dengan jumlah kebutuhan dan selera (preference) pasar (konsumen), baik pasar lokal, nasional, maupun ekspor.  Dengan demikian, dari perspektif bisnis, tugas kita di subsistem pemasaran adalah bagaimana agar masyarakat Indonesia dan dunia mengkonsumsi, menggunakan, dan membeli ikan dan produk perikanan sebanyak mungkin dengan harga yang menguntungkan para produsen.


Sementara itu, tugas subsistem penanganan dan pengolahan (pasca panen) adalah untuk menjamin, bahwa kualitas, keamanan (safety), rasa (taste), bentuk sajian, dan kemasan (packaging) ikan dan produk perikanan memenuhi segenap persyaratan dan selera konsumen (pasar). Pada subsistem inilah, proses peningkatan nilai tambah terhadap ikan dan produk perikanan berlangsung.


Bahkan, mengacu pada UU N0.31/2004 tentang Perikanan, proses penciptaan nilai tambah dalam sektor perikanan juga bisa ditempuh dengan menerapkan bioteknologi.  Yakni dengan cara mengekstraksi senyawa aktif (bioactive substances) atau produk alamiah (natural products) dari biota perairan, kemudian memprosesnya menjadi ratusan produk industri makanan dan minuman, obat-obatan (farmasi), kosmetik, cat, film, bioenergi, kertas, dan lainnya.
Selama ini, cara-cara kita mengelola pembangunan perikanan, baik di daerah maupun di tingkat pusat, pada umumnya bersifat parsial dan terpilah-pilah.  Acap kali kita hanya terfokus menggenjot produksi, tetapi lupa mengembangkan pasarnya, dan sebaliknya. 


Dengan demikian, para nelayan dan pembudidaya ikan Indonesia sampai sekarang masih sering tertimpa dilema market glut.  Suatu keadaan, dimana kalau tidak ada atau sedikit ikan (musim paceklik atau bukan musim panen) harga ikan tinggi (bagus), tetapi begitu musim penangkapan atau panen ikan, harganya turun drastis. 


Penyakit kronis ini secara sistematis sudah mulai disembuhkan oleh DKP sejak awal 2002 antara lain melalui program utamanya berupa penguatan dan pengembangan pelabuhan perikanan sebagai pusat bisnis perikanan terpadu, pembangunan pasar ikan higienis, serta  match making(mempertemukan) para produsen (nelayan dan pembudidaya ikan) dan para pembeli baik nasional maupun asing.


Dalam hal penanganan dan pengolahan hasil (industri pasca panen), kita pun tertinggal dibanding Thailand, Malaysia, dan Singapura.  Ikan dan produk perikanan Thailand lebih menguasai pasar Jepang, AS, dan Uni Eropa. Karenanya wajar, meskipun saat ini total volume produksi perikanan Thailand (urutan-12 dunia) jauh lebih kecil ketimbang Indonesia (urutan-5), namun nilai ekspor perikanan Thailand (US$ 3,9 miliar) jauh melampui Indonesia yang hanya US$ 2,1 miliar. 

Dinamika Pasar
Secara potensial, prospek pasar ikan dan produk perikanan Indonesia sangat menjanjikan, karena tiga alasan.  Pertama, bahwa seiiring dengan terus bertambahya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan nilai gizi ikan dan produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia, maka permintaan (demand) terhadap ikan dan produk perikanan bakal terus bertambah.


Konsumsi ikan penduduk dunia meningkat dari 9 kg per kapita pada 1961 menjadi 16,5 kg/kapita pada 2003 (FAO, 2007).  Demikian juga halnya di Indonesia, yang pada 1998 baru mencapai 18 kg/kapita, kini sudah sebesar 28 kg/kapita.


Jika rekomendasi Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia terpenuhi, yakni konsumsi ikan penduduk Indonesia rata-rata 30 kg/kapita, maka pada 2010 total kebutuhan ikan nasional (pasar domestik) sebesar 250 juta orang dikalikan 30 kg/orang, yaitu 7,5 juta ton.  Belum lagi kebutuhan ikan dan produk perikanan untuk ekspor, dan untuk industri tepung ikan dan minyak ikan.  Padahal, total produksi ikan dari penangkapan di laut yang maksimum diizinkan sekitar 5,2 juta/tahun (80% dari 6,4 juta ton/tahun, potensi lestari) dan dari penangkapan ikan di perairan umum sekitar 0,5 juta ton/tahun. 


Bayangkan pada 2040, ketika total penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 500 juta (BPS, 2006), berarti kebutuhan ikan nasional untuk konsumsi saja mencapai 15 juta ton.  Dan, penduduk dunia yang saat itu sekitar 8 miliar (PBB, 2003) akan memerlukan ikan untuk konsumsi saja, sebesar 132 juta ton. Dengan kata lain, kita mesti meningkatkan produksi aquaculture, yang saat ini baru mencapai sekitar 2 juta ton/tahun atau 3% dari total potensi produksi aquaculture nasional, sekitar 57 juta ton/tahun. 


Kedua, dengan semakin menciutnya padang penggembalaan dan menurunnya produksi pakan ternak, maka pasok protein hewani yang berasal dari sapi, babi, ayam, dan ternak lainnya diperkirakan bakal menurun. Ini hanya dapat dikompensasi oleh protein hewani dari ikan dan produk perikanan. 


Meskipun prospek pasarnya begitu cerah, namun kenyataannya kinerja ekspor perikanan Indonesia masih jauh dari harapan kita bersama. Seperti sudah diungkap di atas, nilai ekspor perikanan lebih rendah ketimbang Thailand, bahkan kalah oleh Vietnam.


Kalau pada 2002 Indonesia masih merupakan pengekspor udang terbesar ke pasar Jepang, kini kita berada pada posisi ketiga setelah Thailand dan India. Padahal baik potensi maupun realisasi produksi perikanan Indonesia lebih besar daripada kedua negara tersebut.  Ini pertanda ada sesuatu yang salah dengan kinerja subsistem pasca panen dan pemasaran perikanan Indonesia.


Sebagai ilustrasi betapa masih kurang memadainya kinerja subsistem penanganan dan pengolahan hasil perikanan di tanah air adalah perikanan tuna di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, yang nota bene merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Nusantara ini.  Hanya sekitar 45% dari total ikan tuna yang didaratkan di pelabuhan ini, memenuhi persyaratan sebagai tuna kualitas sashimi (sashimi-grade tuna) yang diekspor langsung ke Jepang dengan pesawat terbang. 


Setelah sampai di pasar-pasar ikan Jepang, sekitar 20% dari total ikan tuna yang diimpor dari Indonesia, kualitasnya diturunkan (down-graded) menjadi kualitas raw material-grade tuna. Perlu diketahui, bahwa harga sashimi-grade tuna di pasar Jepang berkisar dari US$ 5/kg sampai US$ 30/kg.  Sedangkan, raw material-grade tuna hanya kurang dari US$ 2/kg (PCI, 2001).


Sebagaimana kita maklumi, setiap negara pengimpor produk perikanan (Jepang, AS, Uni Eropa, dan lainnya) mengajukan sejumlah persyaratan (requirements) baik yang berkaitan dengan kualitas dan keamanan produk (non-tarrif bariers) maupun pembatasan tarif (tarrif barriers) kepada negara atau perusahaan pengekspor.  Di sinilah kita bersaing dengan negara-negara pengekspor produk perikanan lainnya, terutama Thailand, Cina, Vietnam, India, serta beberapa negara Amerika Selatan dan Amerika Latin. 


Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, 230 juta orang, prospek pasar domestik untuk ikan dan produk perikanan di Indonesia diyakini bakal semakin cerah. Kalaulah sampai saat ini, sebagian besar (65%) produk perikanan yang dikonsumsi oleh konsumen Indonesia berupa produk olahan tradisional seperti ikan rebus, ikan kering, ikan asap, ikan asin, pindang, peda, daging ikan dan cincang (minced), maka ke depan dengan semakin meningkatnya daya beli (purchasing power) dan bertambahnya kelas menengah ke atas, permintaan terhadap ikan (seafood) segar, ikan hidup, ikan beku, dan produk berbasis surimi yang siap dimasak (ready-to-cook) dan siap saji atau siap santap (ready-to-serve or to eat) akan semakin berlipat ganda.

Memanfaatkan Peluang
Untuk dapat memanfaatkan peluang pasar ikan dan produk perikanan yang demikian besar, baik di pasar domestik maupun global, sekali lagi kita harus membangun perikanan Nusantara ini dengan menerapkan pendekatan bisnis terpadu, ada benang merah yang sinergis antara subsistem produksi, penanganan dan pengolahan, serta pemasaran. Selanjutnya, kunci yang menentukan daya saing produk perikanan adalah: (1) kualitas dan keamanan produk, (2) harga yang bersaing (relatif murah), dan (3) kehandalan (reliability) pasokan (supply).


Agar kita bisa menghasilkan produk perikanan dengan keunggulan daya saing yang tinggi tersebut, maka kita harus menggunakan Iptek dan manajemen profesional dalam setiap subsistem perikanan tersebut.  Teknologi penangkapan dan budidaya perikanan harus ramah lingkungan untuk memastikan bahwa pembangunan perikanan yang kita laksanakan dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Tata ruang, pengendalian pencemaran, konservasi ekosistem, pengkayaan stok, dan program perawatan lingkungan lainnya mesti terus dikerjakan.


Pelaksanaan program rantai dingin (cold-chain system) untuk komoditas-komoditas perikanan bernilai ekonomis penting, yang sudah dirintis DKP sejak 2001 mesti terus diperkuat dan dikembangkan.  Program perawatan dan pembangunan pelabuhan perikanan, tempat pendaratan ikan, dan pasar ikan yang memenuhi HACCP, persyaratan higienis, dan persyaratan mutu produk perikanan secara internasional lainnya harus juga terus ditumbuhkembangkan.


Program peningkatan kesadaran publik (produsen, pedagang perantara, konsumen, dan lainnya) tentang arti penting mutu dan kemanan ikan dan produk perikanan juga mesti terus digalakkan. Akhirnya, kerja sama sinergis antar seluruh stakeholders perikanan menjadi kunci keberhasilan pembangunan perikanan nasional, terutama yang bertalian dengan aspek penanganan dan pengolahan serta pemasaran hasil perikanan.