Ikan Lele Bermutasi Jadi Pemangsa Manusia

Ikan Lele Bermutasi Jadi Pemangsa Manusia

Seekor goonch berukuran 1,8 meter dan berat 75,5 kilogram berhasil ditangkap.


Jeremy Wade dan Goonch Catfish, ikan sejenis 'lele' yang bermutasi menjadi pemakan daging (discovery.com)
BERITA TERKAIT
VIVAnews - Sejak tahun 1998 hingga 2007, tiga orang lenyap tenggelam mendadak di Great Kali River, sungai yang melintang di perbatasan antara Nepal dan India utara. Hal ini sangat aneh karena kawasan itu bukanlah habitat buaya dan predator air lain.

Terakhir, dari saksi mata yang melihat kejadian, seorang anak terlihat diseret ke dalam air oleh sesuatu yang tampak seperti babi berukuran panjang. Setelah itu, korban tidak pernah terlihat lagi, hidup atau mati. Demikian pula sisa-sisa tubuh ataupun pakaiannya.

Kasus-kasus itu memicu Jeremy Wade, biolog asal Inggris untuk mengamati apa yang ada di dalam sungai tersebut. Pasalnya, serangan hanya terjadi di kawasan tertentu, sepanjang sekitar 6 sampai 8 kilometer. Kawasan itu, menurut keterangan penduduk, merupakan kawasan di mana mereka biasa melarungkan jasad saudara-saudara mereka yang telah meninggal setelah dibakar.

Setelah meneliti menggunakan alat pengukur kedalaman, ia memastikan tidak ada lubang ditemukan, artinya serangan tidak diakibatkan oleh turbulensi yang terjadi di air.

Benar saja, tak lama setelah itu, dari jarak sekitar 1 kilometer dari serangan terakhir, seekor kerbau yang sedang minum di sungai yang hanya memiliki kedalaman 1 meter diserang dan diseret oleh sesuatu dari dalam air.

“Apapun yang mampu menyeret kerbau sebesar itu pasti memiliki ukuran dan bobot seberat 90 sampai 140 kilogram,” ucap Wade, seperti dikutip dari Discovery, 29 Desember 2010.

Dalam penelitian bawah air, Wade menemukan goonch catfish, serupa ikan lele yang memiliki panjang satu meter. Namun ikan itu gagal ditangkap. Penelitian lebih lanjut, diketahui bahwa terdapat beberapa kelompok goonch dan enam di antaranya berukuran sebesar manusia.

Setelah gagal menangkap ikan itu dengan alat pemancing, Wade coba memancing pemunculan ikan itu menggunakan seonggok kayu bakar dan  disusun seolah-olah merupakan bekas kremasi jasad orang meninggal. Ternyata sukses.

Seekor goonch berukuran panjang 1,8 meter dan berbobot 75,5 kilogram, atau 3 kali lebih berat dibanding goonch lainnya berhasil ditangkap. Ikan ini diperkirakan cukup besar dan kuat untuk memakan seorang anak kecil, namun tak cukup besar untuk menyeret dan menyantap seekor kerbau.

Dari keterangan penduduk, Wade menyimpulkan bahwa ‘ikan lele’ itu telah bermutasi menjadi berselera terhadap daging manusia. Ikan juga tumbuh menjadi raksasa setelah terus mengonsumsi daging setengah matang sisa-sisa jasad manusia yang dilarungkan dan tenggelam di dasar sungai.

Potensi Budidaya Ikan dari Jenis Perikanan Darat

Selama ini, aktivitas perikanan tangkap mendominasi pembangunan perikanan nasional. Secara politik, kondisi ini memposisikan perikanan darat/perairan umum (sungai, situ, danau dan rawa) sebagai kelas dua, maka aktivitas perikanan darat mandek.
Revitalisasi perikanan hanya mengutamakan pertambakan udang, dan budidaya laut yaitu rumput laut dan ikan karang, padahal perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri. Harusnya, pemerintah memberikan porsi yang seimbang antara keduanya.

Perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan dalam pengembangannya. Pertama, potensinya memiliki varitas/jenis yang bersifat endemik. Contohnya, ikan bilih (Mystacoleuseus padangensis) yang di dunia hanya terdapat danau Singkarak, Sumatera Barat, juga ikan jenis lawat (Leptobarbus hoevanii), baung (Mystus planices), belida (Chitala lopis), dan tangadak (Barbodes schwanenfeldi) di Danau Sentarum Kalimantan Barat dan sungai-sungai pulau Sumatera, nike-nike di Danau Tondano, Sulawesi Utara dan ikan gabus asli (Oxyeleotris heterodon) Danau Sentani di Papua.

Kedua, keberadaan ikan endemik menyatu dengan perilaku/pola hidup masyarakat lokal. Mereka menganggap ikan endemik menjadi bagian kebudayaan dan dikonsumsi secara turun-temurun. Maka mereka juga memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestariannya.
Ketiga, secara ekologis dan klimatologi ikan endemik memiliki habitat hidup dan berkembang biak yang khas. Amat tidak mungkin ikan bilih, Danau Singkarak dikembangbiakan di Danau Poso. Inilah sumber kekhasan sumber daya genetiknya.

Keempat, lahan budi daya perikanan darat yang mengandung jenis ikan endemik belum dimanfaatkan secara optimal. Baru beberapa daerah yang memberdayakan dan memberdayakannya dengan pariwisata misalnya Danau Tondano, Danau Singkarak, Danau Poso dan Danau Sentani. Kelima, jenis ikan endemik harganya mahal karena rasanya unik, khas dan langka sehingga menjadi trade mark tersendiri bagi daerah itu. Contohnya, ikan semah (Tor tambra, Tor dourounensis dan Tor tambroides, Labeobarbus douronensis) dari Sungai Kapuas harganya sampai Rp 250.000/kg.

Enam Problem
Otonomi daerah dalam aspek perikanan dan kelautan tidak hanya dimaknai sebatas kewenangan pengelolaan wilayah laut oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Otonomi daerah juga harus dimaknai sebagai upaya mengelola dan mengembangkan perikanan darat utamanya ikan endemik yang terancam punah. Pemaknaan ini akan menciptakan kedaulatan pangan di tingkat lokalitas.

Berbagai problem mengancam keberlanjutan budidaya ikan endemik dan kelestariannya, yaitu pertama, ekspoitasi berlebihan. Contohnya, data tahun 1997 menyebutkan stok ikan Bilih mencapai 542,56 ton dan yang telah dieksploitasi sebesar 416,90 ton (77,84 persen). Ini menggambarkan sumberdaya ikan bilih sudah mengalami tangkap lebih.

Kedua, introduksi ikan lain yang bersifat predator dan kompetitor. Kasus introduksi ikan gabus toraja (Channa striata) di Danau Sentani, mengancam Ikan gabus asli Danau Sentani. Hal serupa juga terjadi di Danau Poso dan Malili di Sulawesi Tengah.

Ketiga, ancaman kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan pembabatan hutan. Akibat kegiatan pertanian yang menggunakan pupuk anorganik, limpasannya masuk ke sungai dan danau, sehingga mencemari dan merusak habitat ikan endemik.
Hal serupa akan terjadi akibat pembabatan hutan di hulu sungai, tepi danau dan daerah tangkapan air. Penurunan populasi ikan endemik di sungai, danau maupun lubuk-lubuk di Kalimantan dan Sumatera bersumber dari aktivitas pertanian dan pembabatan hutan.

Keempat, proses sedimentasi yang disebabkan oleh limpasan lumpur dari aktivitas pertanian di tepi danau menyebabkan danau semakin dangkal. Juga, pembabatan hutan di hulu menyebabkan sungai mengalami pendangkalan. Otomatis proses sedimentasi yang semakin bertambah setiap tahunnya mengancam hilangnya habitat ikan endemik. Di Sungai Mahakam akibat sedimentasi sudah sulit mendapatkan ikan baung dan lais.

Kelima, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kasus yang terjadi di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, yakni adanya penggunaan bubu warin (alat tangkap berukuran mata jaring < 0,5 cm sejak tahun 2000) menyebabkan turunnya populasi ikan di daerah ini. Keenam, penyediaan pakan ikan budidaya mengancam kelestarian ikan endemik. Pengembangan budidaya keramba mengancam ikan endemik Danau Sentarum karena pakannya diambil dari ikan–ikan kecil di danau ini.

Delapan Kebijakan
Melindungi sumber genetik plasmah nutfah dan mengembangkan budidaya perikanan darat berbasis ikan endemik memerlukan kebijakan strategis. Pertama, mengembangkan riset pemuliaan genetik ikan endemik. Hasil riset ini akan melahirkan bank genetik ikan endemik Indonesia, sekaligus melindungi plasma nutfahnya.

Kedua, mengembangkan pusat pembudidayaan ikan air tawar endemik yang mampu menyediakan bibit/benih secara massal baik untuk budi daya sungai maupun danau atau situ. Pusat-pusat ini dibangun daerah-daerah yang memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri.

Ketiga, menerbitkan perangkat undang-undang sumberdaya genetik untuk menangkal pihak asing melakukan bio piracy terhadap komoditas endemik khas Indonesia. Hukum yang tersedia baru Keppres No. 43 Tahun 1978 yang menyatakan bahwa jenis ikan yang dilindungi di pulau Kalimantan dan Sumatera adalah arwana Super Red, Golden Red, Banjar Red, arwana Green (hijau) yang ditemukan di Taman Nasional Danau Sentarum dan Sungai Kapuas. 

Keempat, melestarikan lingkungan kawasan perairan umum (daerah aliran sungai, danau, situ) dan tangkapan air yang mampu menjamin ketersediaan air tawar dan mencegah sedimentasi maupun pencemaran air. Prioritaskan bagi kawasan perairan umum yang sudah memiliki sumber daya ikan endemik dan terancam punah.

Kelima, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan dari segi jenis, ukuran, maupun variannya. Akan lebih baik menggunakan alat tangkap yang hanya menyeleksi ikan-ikan endemik yang masuk kategori layak konsumsi dan jual. 

Keenam, menyeleksi introduksi ikan-ikan non-endemik yang bersifat predator, kompetitor dan pembawa penyakit yang nantinya mengancam kelangsungan hidup ikan endemik.

Ketujuh, menyeragamkan pangan berbasis ikan endemik, contohnya fillet, nugget, bakso ikan dan kerupuk ikan. Kedelapan, memberdayakan kelembagaan lokal dan kearifan masyarakat dalam membudidayakan ikan-ikan endemik.

Gagasan yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan langkah strategis dan politik untuk membangun paradigma baru dan merevitalisasi kebijakan budidaya perikanan yang selama ini cenderung mengabaikan perikanan darat.

Hal serupa berlaku juga bagi perairan umum lainnya yang sudah mengembangkan ikan air tawar berbasis waduk (Jatiluhur, Cirata), danau serta situ, demi pemenuhan pangan protein. Dengan demikian, bangsa ini akan berdaulat atas pangan yang bersumber dari ikan endemik, termasuk dalam penyediaan benih.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Written By : 
Muhamad Karim di Sinar-Harapan.com
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Stem the incursions of Fisheries Imports



    Prepare a barrier to slow the flow of commodity imports. Fishery production should bestrengthened. Uninvited, various fishery commodities from countries within ASEAN(Association of South East Asian Nations) and China has penetrated Indonesia. Like it or not, ready not ready, the application of ACFTA (ASEAN - China Free TradeAgreement) in early 2010 and opened the gates of imports of foreign products, including fisheries.                                                                                                                                                             
    Call it the catfish / dori and anchovies from Vietnam, Myanmar, and Malaysia. Then there is the Tilapia fish (tilapia) in black from Malaysia, as well as salmon and mackerelfrom China. A series of fishery commodities began to run rampant in the domesticmarket. The indicator looks with high rates of importation.
   Ministry of Maritime Affairs and Fisheries data shows, the first quarter of 2010 the value of fisheries imports reached U.S. $ 77 million. That number has increased 32% whencompared to the first quarter of 2009 which was only U.S. $ 58 million. In fact, ifcompared to the Central Bureau of Statistics data from January to June 2009, the valueof imports of fishery actually slightly smaller in the amount of U.S. $ 72 million.


    Head of Commerce Director of PT Bumi Menara Internusa, Aris President believes,because of increased imports of Indonesian fishery products less competitive in terms of both quantity and quality. "If our products are quite competitive, domestic needsfulfilled, and if there is excess it can export to foreign countries and do not need toimport. That's what we want, "said Aris to TROBOS in Surabaya recently.

   In reality, a variety of fishery commodities from across the country are sold in Indonesiawith a much cheaper price. For example anchovy fishermen catch is marketed at a priceup to Rp 18,000 per kg. Meanwhile, import teri diritelkan only cost up to Rp 12,000 perkg.


   Similarly, imports of tuna or Selayang, who is now adrift in the market price of between Rp 2,000 to Rp 4,000 per kg lower than the price of locally caught fish. Also salmon andmackerel from China that costs only Rp 6,000 while fish from Indonesia worth USD 8-9thousand.

   Aris said, if there are particular imports of fishery products must be careful and notsuddenly imports. Government administration should also be clear what the import andfor what purpose. "If the purpose of domestic consumption and the government wouldprotect please. But if imports to maintain the viability of labor that absorbs eg 100thousand people, should be considered carefully, "he advised.

Set Rules
   As if to answer the needs of the fish farm, the CTF began to move. According toMinister of Marine and Fisheries, Fadel Muhammad, the institute is preparingMinisterial Regulation (Candy) related to quality control and safety of fishery productsthat are in Indonesia.


   He added that this rule is more focused on monitoring the quality of fishery productimports. "We want to have rules fishery product quality standards as applied to the European Union and the United States. This rule will not bertentangandenganinternational trade rules, "says Fadel.


   Further explained by the Marketing Director for Foreign Affairs, Directorate General(DG) Processing and Marketing of Fishery Products (P2HP) CTF, Saut P. Hutagalung.According Saut, one of the reasons that the entry was made ​​fishery products from other countries allegedly less safe for consumption.

   The reason is, information Saut, it did find a number of imported fishery products withquality below standard and even dangerous, for example, contain formalin. "The results of laboratory tests prove that, as recently occurred in North Sumatra and Batam," saidSaut.


   He added that, during the last 30 years Indonesia, more focus on export rules. "While the rules on imports are minimal, including the quality control and safety of fishery," said Saut.


   Participate explained, the Secretary-General P2HP CTF, Victor PH Nikijuluw, say, later this candy does not mention the financial aspect or tariff barriers, but in terms of qualityand product safety. "This is a technical aspect that applies to all commodities and alsoapplied by other countries,"explained Victor.


   He added that the trend of increasing imports in the first quarter of 2010 dominated the types of fish that did not dihasilan in Indonesia. Examples of salmon to meet the needs of hotels and restaurants for foreigners. In addition, imports are also a lot done on fishflour and flour products of shrimp which is a raw material for livestock and aquaculturefeed industry. There are also imports of shrimp broodstock. (Source: www.trobos.com )


PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT UNTUK BAHAN PAKAN IKAN

Dewasa ini permintaan terhadap produksi perikanan budidaya guna memenuhi gizi masyarakat semakin meningkat. Konsumsi ikan penduduk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan sekitar 4,6% pada tanuh 2003. Disamping itu, adanya wabah flu burung pada unggas pada tahun 2006 menjadikan ikan sebagai sumber protein hewani yang cukup aman dikonsumsi. Kenaikan konsumsi ikan oleh masyarakat tersebut berpengaruh sangat besar terhadap kenaikan produksi ikan mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Dengan meningkatnya produksi ikan terutama ikan budidaya maka secara otomatis akan terjadi kenaikan permintaan pakan.
Selanjutnya 

Sejarah Perikanan


Mesir membawa ikan, dan dibelah untuk tujuan diasinkan
Salah satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan cod kering dari daerah Lofoten ke bagian selatan Eropa, Italia, Spanyol dan Portugal. Perdagangan ikan ini dimulai pada periode Viking atau sebelumnya, yang telah berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun masih merupakan jenis perdagangan yang penting hingga sekarang.
Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.
Perikanan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas